ibadah

Taharah (Bersuci)


Pertama: Pengertian Thaharah
Secara etimologi (bahasa) adalah: membersihkan diri dari semua kotoran, walaupun suci, seperti ludah, keringat dan lainnya dan dari najis, baik yang bersifat hissy (kongkrit), seperti kotoran dan kencing manusia, liur anjing dan lainya atau kotoran yang bersiafat ma’nawy (abstrak), seperti kesyirikan, kemaksiatan dan lain-lain.
Adapun secara terminologi (syariat) adalah: “menghilangkan hadats, najis, dan kotoran dengan air atau tanah yang bersih. Dengan demikian, thaharah adalah menghilangkan kotoran yang masih melekat di badan yang membuat tidak sahnya shalat dan ibadah-ibadah yang lain”.

Maka wajib bagi seorang mukmin untuk selalu memperhatikan dan mempelari thaharah, khususnya thaharah ma’nawy (abstrak), karena kedudukannya lebih agung dari pada thaharah hissy (kongkrit). Karena kesucian hati dalam beribadah kepada Allah, atau kesuciannya dari dengki, hasad kepada kaum muslimin lebih penting dari pada kesucian badan atau fisik. Bahkan kesucian dzahir tidak akan bermanfaat bila disertai dengan adanya kotoran batin.
kebanyakan manusia -khusus zaman sekarang- kita perhatikan hanya peduli dan respon dengan kesucian dzahir, Padahal ini hanyalah perkara cabang. Sebaliknya mereka mengabaikan dan melupakan kesucian batin, padahal ini adalalah merupakan perkara pokok dan penting.

Kedua: Hukum Thaharah
Hukum membersihkan dan menghilangkan najis adalah wajib ketika ingat dan disertai dengan kemampuan. Hal ini berdasarkan dalil dari al-qur’an dan sunnah serta ijma’ para ulama. Dari al-qur’an adalah firman Allah.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبٗا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٦

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS.Al Maidah:6)

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ ٤

”dan pakaianmu bersihkanlah”. (QS.Al Muddatstsir:4)

Demikian pula firman Allah ta’ala:

وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَيۡتَ مَثَابَةٗ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنٗا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ مُصَلّٗىۖ وَعَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيۡتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلۡعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ ١٢٥

”Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim[89] tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS.Al Baqarah:125).
Mengenai dalil-dalil dari hadits, diantaranya adalah sabda Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:
“Tidak akan diterima shalat tanpa bersuci”. (H.R. Muslim, no: 224).
“Allah tidak akan terima shalat salah seorang dari kalian apabila berhadats sehingga ia berwudlu”. (H.R. Bukhari, no:135).
Adapun dalil Ijma’, maka para ulama telah sepakat bahwasannya shalat tidak akan sah melainkan dengan thaharah.
Adapun membersihkan hadats, baik yang kecil maupun yang besar maka hukumnya adalah wajib. Hal ini dalam rangka diperbolehkannya untuk melakukan ibadah yang disyaratkan dalam kedaan thaharah (bersuci). Sebagaimana yang akan kami sebutkan.

Ketiga: Manfaat Thaharah
Hampir mayoritas ulama fiqh maupun hadits, mereka mulai karangan atau tulisan mereka dengan kitab THAHARAH, walaupun Imam Bukhari mulai dalam kitabnya dengan bab “bad’ul wahyu”, Imam malik mulai kitabnya dengan “waktu-waktu shalat” akan tetapi yang ma’ruf dan lumrah adalah mereka mulai dengan kitab thaharah. hal ini adalah karena sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, bahwa:

Thaharah menjadi syarat syah shalat yang paling kuat, Rosulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya: “tidak akan diterima shalat orang yang berhadats sehingga ia berwudlu”. (Riwayat Bukhori, (no: 130) dan Muslim, (no: 225).
Karena thaharah merupakan pengosongan dari semua najis dan kotoran, Oleh karena itu dimulai dengan bersuci kemudian pengisian dengan ibadah tertentu.
Sesungguhnya meremehkan bersuci dari najis adalah merupakan sebab siksa kubur. Sebagaimana datang dalam sebuah hadits yang artinya: “sesungguhnya keduanya telah diadzab, dan tidaklah diadzab karena perkara besar, adapun orang ini adalah karena tidak membersihkan dari kencingnya”. ( Riwayat Abu Abu Dawud, no: 20, An-nasai, no: 2069, dan Ibnu Majah, no:347 dengan sanad yang shahih ).
Mereka mulai dengan thaharah untuk mengisyaratkan kepada kita, baik ketika melakukan ibadah atau mencari ilmu supaya membersikan niat dan keinginan dengan hanya mengharap wajah Allah. Bukan karena motif dunia, baik berupa harta, jabatan dan lain-lain yang bersifat fana’.
Allah mencintai orang-orang yang gemar bersuci dan memuji mereka. Allah berfirman:
لا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

”Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih” (QS.At Taubah:108).

Keempat: Macam-Macam Thaharah
Dari segi bentuknya, maka ulama kita membagi thaharah menjadi dua macam:

Thaharah hakikiyah: yaitu bersuci dari kotoran, seperti najis yang menempel di badan, pakaian seseorang atau tempat tertentu.
Thaharah hukmiyah: yaitu bersuci dari hadats yang ada di badan. Dan dalam hal ini ada tiga macam, yaitu:
Thaharah kubra, yang dimaksud disini adalah bersuci dari hadats besar, seperti junub, haid, nifas.
Thaharah sughra, yang dimaksud disini adalah bersuci dari hadats kecil, seperti kencing, berak, buang angin, madzi dan wadzi.
Pengganti dari keduanya ketika ada udzur, yaitu dengan tayammum.
Disana ada pembagian lain yang disebutkan oleh sebagian ahli ilmu, yaitu dari segi wujudnya maka ulama kita membagi thaharah menjadi dua macam, yaitu:

Thaharah dzahir: yaitu dengan berwudzu atau mandi pakai air, disamping membersikan pakaian, badan dan tempat dari hadats atau najis.
Thaharah batin: yaitu dengan membersihkan hati dari sifat-sifat yang negative, seperti syrik, kekufuran, sombong, dengki, hasad, nifaq, riya’ dan semisalnya. Dan memenuhi hati dengan sifat-sifat yang terpuji, seperti tauhid, iman, kejujuran, ikhlas, yakin, tawaqal dan lain-lainya. Dan itu semua menjadi sempurna dengan memperbanyak taubat, istighfar serta dzikir kepada Allah.
Kelima: Ibadah-ibadah Yang Disyaratkan Thaharah
a. Shalat.
Ketika mau melakukan shalat, maka badan, baju dan tempat kita harus dalam keadaan suci, baik dari hadats maupun najis. Hal ini adalah karena berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebut sebelumnya. Demikian pula firman Allah:

وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَيۡتَ مَثَابَةٗ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنٗا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ مُصَلّٗىۖ وَعَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيۡتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلۡعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ ١٢٥

”Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS.Al Baqarah:125).

Demikian pula sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada orang ‘araby yang kencing di dalam masjid: “Siramilah diatasnya (kencing) dengan setimba dari air”. (H.R. Bukhari, no: 217).

b. Sujud tilawah.
Ulama fiqh berbeda pendapat mengenai syarat thaharah kita melakukan sujud tilawah. Hal ini berlandaskan pada perbedaan mereka, apakah yang namanya sujud tilawah itu merupakan shalat ataukah bagian dari shalat, sehingga diharuskan thaharah untuk sahnya sebuah shalat atau sujud tilawah hanya mengandung arti shalat, sehingga ia tidak wajib thaharah?

Barang siapa yang berpendapat bahwa sujud tilawah merupakan shalat atau bagian dari shalat, maka ia wajib thaharah. Ini adalah pendapat madzab Syafi’iyah, Al-hambaly. Adapun malikiyah, maka mereka berpendapat bahwa sujud sahwi tidak disyaratkan thaharah. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -semoga Allah merahmati semuanya-. Dan ini adalah merupakan pendapat yang lebih kuat, karena sujud sahwi bukanlah merupakan shalat atau bagian darinya.

Dan saya telah tanyakan tentang masalah ini kepada Syaikhuna Ali bin Adam Al-Idzyubi [2] -semoga Allah angkat derajat dan panjang umurnya- maka beliau menjawab: “pendapat ini yang lebih utama (tidak wajib thaharah) dan ini adalah merupakan pendapat mayoritas ulama. Wa Allahu ‘alam.

c. Thawaf.
Dalam hal ini, ulama kita juga berbeda pendapat, apakah thawaf disyaratkan dalam keadaan thaharah atau tidak?. Mayoritas ulama fiqh dari malikiyah, syafiiyah dan hanabilah berpendapat akan disyaratkannya thaharah untuk thawaf. Mereka berdalil dengan sabda Rosulullah sallahu ‘alaihi wasallam:

“Thawaf di ka’bah merupakan shalat, hanya saja Allah menghalalkan bicara di dalamnya. Barangsiapa yang berbicara, maka hendaklah ia tidak berbicara melainkan kebaikan”. ( Riwayat Abu Abu Dawud, no: 20, An-nasai, no: 2069, dan Ibnu Majah, no:347 dengan sanad yang shahih).

Sedangkan madzab Hanafiyah berpendapat, bahwa thawaf tidak disyaratkan dengan thaharah. Ini adalah merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin. Dan ini adalah merupakan pendapat yang lebih kuat, berdasarkan dalil-dali yang ada. Allah ‘alam.

Keenam: Cara Melakukan Thaharah
Ulama kita telah sepakat, bahwa thaharah dari hadats, yaitu kotoran dan najis yang tidak Nampak, seperti wudlu, junub dan lain-lain, baik yang kecil maupun besar bisa lakukan dengan menggunakan dua cara, pertama yaitu dengan air. dan ini adalah merupakan asal dalam thararah.

Kedua yaitu dengan tayammum, (menggunakan debu yang suci), Tayammum merupakan ganti dari thaharah dengan air. Hal itu jika tidak mungkin bersuci dengan menggunakan air atau karena tidak adanya air, sehingga dapat digantikan oleh debu yag suci. Dan tayammum adalah merupakan cabang untuk thaharah.

Antara air dan tayammum keduanya saling menggantikan fungsi yang lain akan tetapi yang pokok adalah tetap dengan air.

Adapun untuk menghilangkan kotoran atau najis maka dalam hal ini ulama kita berbeda pendapat. Sebagiam ulama berpendapat bahwa kotoran atau najis tidak bisa dibersikan melainkan dengan air. Hal ini berdasarkan sabda Rosulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengenai darah haid yang menimpa pakaian:
“keriklah kemudian bersikan lalu siramlah dengan air dan shalatlah dengannya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Syahid-nya dalam hadits ini adalah sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, “dengan air”.

Sebagian ahli ilmu menyebutkan kenapa sebabnya harus dengan air, Karena air dapat membersihkan lebih cepat dan sempurna serta lebih mudah dalam pelaksanaannya. Allahu ‘alam.

Maka ini adalah merupakan dalil akan wajibnya memakai air untuk menghilangkan kotoran atau najis. Sebagaimana Ini adalah pendapat madzab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut madzhab hanafiyah, mereka berpendapat tidak wajibnya memakai air (mutlak) untuk menghilangkan kotoran atau najis, akan tetapi bisa dengan air cuka, air teh atau air bunga, yang penting dapat membersikan kotoran atau najis. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Al-Utsaimin rahimahumallah.
Berikut ini adalah beberapa cara untuk menghilangkan najis yang menempel pada sesuatu atau benda tertentu:
1. Untuk mensucikan kulit yaitu dengan menyamaknya.
2. Untuk mensucikan bejana yang dijilat oleh anjing, yaitu dengan mencucinya sebanyak tujuh kali dan mulai dengan tanah.
3. Untuk mensucikan pakaian yang terkena darah haid, yaitu dengan mengkeruknya kemudian dibasuh dan disiram dengan air. Jika setelah itu ada bekas, maka tidaklah mempengaruinya.
4. Untuk mensucikan kelebihan pakaian wanita, yaitu dengan dipakai pada tanah yang suci sesudahnya.
5. Untuk mensucikan pakaian dari kencing anak laki yang masih menyusu, yaitu dengan percikan, dan dengan siraman bagi anak perempuan.
6. Untuk mensucikan pakaian dari madzi, yaitu dengan menyiram air pada tempatnya.
7. Untuk mensucikan bagian bawah sandal, yaitu dengan mengusapkannya ke bumi
8. Untuk mensucikan tanah atau bumi dari najis, yaitu dengan cara menuangkan setimba air pada tempatnya atau dengan membiarkannya sampai kering sehingga bekas najis menjadi hilang dan suci.

Ketujuh: Disyaratkannya Niat Ketika Melakukan Thaharah
Ulama fiqh telah sepakat, bahwa niat bukanlah merupakan suatu syarat untuk melakukan thaharah dari najis, apapun bentuknya. akan tetapi ulama kita berselisih ketika melakukan thaharah dari hadats, baik kecil maupun besar.
Ulama madzab maliky, syafi’I dan hanabilah, mereka berpendapat bahwa niat adalah merupakan syarat untuk membersikan dari hadats. Dalam hal ini, berbeda dengan madzab hanafi, mereka berpendapat bahwa niat bukanlah merupakan syarat untuk membersikan dari hadats. Diantara alasan mereka adalah karena niat bukanlah merupakan ibadah tersendiri, akan tetapi niat hanya dipakai untuk memperbaiki ibadah.
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah yang pertama, yaitu bahwa niat adalah merupakan syarat. Diantara dalil pendapat ini adalah sabda Rosulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Dan sesungguhnya semua amal bergantung kepada niatnya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Adapun madzab hanafi yang berpendapat bahwa niat bukan merupakan syarat, mereka mengatakan karena niat bukanlah merupakan ibadah tersendiri, Maka kita jawab: justru niat merupakan ibadah tersendiri, karena berwudlu, mandi, tayammum adalah merupakan ibadah tersendiri, dengan bukti karena Allah memberikan balasan dan keutamaan atas amalan-amalan ini, jika demikian maka niat menjadi syarat bagi masing-masing ibadah tersebut. Wallahu ‘alam.

Kedelapan: Tingkatan-tingkatan Thaharah
Jika kita telah pahami, bahwa thaharah merupakan ibadah. Maka ketahuilah bahwa dalam hal ini, manusia juga berbedah-bedah tingkatannya. Semuanya sesuai dengan kadar ilmu dan iman seseorang. Oleh karena itu ulama kita menyebutkan, bahwa thaharah ada empat tingkatan, yaitu:
1. mensucikan dzahir, baik berupa hadats maupun najis dengan macam-macamnya.
2. mensucikan anggota badan dari segala bentuk kesalahan dan dosa.
3. mensucikan hati dari semua ahlaq yang tercelah.
4. mensucikan dan mengkosong batin dari selain Allah.
Semakin kuat ilmu dan iman seseorang, maka semakin seseorang mampu mewujudkan nilai-nilai thaharah dan mengamalkannya, seperti yang dikehendaki oleh Allah dan Rosulnya. Semoga Allah selalu menjadikan kita sebagai orang-orang yang suci dan mencintai kesucian. Amiin

Maraji’ (Referensi):
1. Al-Mausuu’ah Al-Fiqhiya Al-Muyassarah Fi Fiqhil Kitab Wa As-Sunnah Al-Mutahharah, karya Syaikh Husain bin ‘audah al-uwaisah. Dar ibnu hazem dan al-maktabah al-islamiyah. cetakan ke 1, tahun 1423 H / 2002 M.
2. Al-Fiqh Al-Muyassarah, karya Syaikh prof. Dr. Abdullah bin Muhammad At-Tayar, cetakan ke 2, dar al-wathan, tahun 1433 H / 2012 M.
3. Mukhtashar Al-Fiqh Al-Islamy, karya Muhammad bin Abdullah At-Tuwaijry, cetakan ke 9, tahun 1430 H /2009 M.
4. Majmu’ Rasail Al-Fiqh karya, Abdurrahman Bin Yahya Al-Mu’alimy, Dar ‘Alamul Fawaid, cetakan ke 1, tahun 1434 H.
5. Shahih Fiqh As-Sunnah Wa Adillatahu Wa Taudzihu Madzahibul Aimmah, karya Syaikh Abu Malik Kamal As-Sayid Salim, Maktabah Taufiqiyah.
6. Tamamul Minnah Fi Ta’liq ‘Ala Fiqhu As-Sunnah, Syaikh Muhammad Nasirudin Al-Albany, Dar Raayah, cetakan ke 3, tahun 1409 H.
7. Ikhtiyar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al-Fiqhiyah, karya Dr. ‘Aid Bin Fadzgus Bin Jaza Al-Haristy, cetakan ke 1, tahun 1430 H /2009 M.
8. Zadul Maadz Fi Hadhy Khairil Ibad, karya Ibnu Qoyim Al-Zauziyah, Muasasah Al-Risalah, cetakan ke 1, 1431 H / 2010 M.
9. Ar-Raudzah An-Nadiyah Syarh Ad-Dzurar Bahiyah, Muhammad Sidiq Hasan Khan, Maktabah Al-Kautsar, cetakan Ke 2, Tahun 1413 H / 1993 M.
10. Al-Wajiz Fi Fiqhu As-Sunnah Wa Al-Kitab Al-Aziz, Syeih Dr. Abdul Adzim Badawi, Dar Ibnu Rajab, cetakan K 3, Tahun 1431 H /2010 M.
11. Manhaj As-Salikin Wa Taudzih Al-Fiqh Fi Addin, karya Syaikh Abdurrahman Bin Naasir As-Sa’dy, Dar Wathan, cetakan Ke 1, Tahun 1421 H / 2000 M.
12. Ikhtiyaraat Al-Fiqhiyah Li Al- Imam Al-Albany, karya Syaikh Dar Al-Ghad Al-Jadid, Kairoh. cetakan K 1, 1431 H / 2006 M.
13. Tanbiihul Afhaam Wa Taisiirul ‘Allam, Syarh Umdatul Ahkam Min Kalaami Khairil Anaam, Syekh Muhammad Bin Shalih Bin Utsaimin Dan Syekh Abdullah Bin Abdurrahman Ali Bassam, Terbitan, Beirut-Libanon, Tahun 2006, cetakan 1
14. Taisiirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatul Ahkam, Syekh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Shalih Al Bassam, Daar Al Maimaan, Tahun 2005 M / 1426 H
15. Syarh Umdah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Syekh Khalid Bin Ali Bin Muhammad Al Musyaiqih, Daar Al’aashimah, Tahun 1418 H
16. Al I’laam Bi Fawaaid Umdatil Ahkaam Lil Imam Al Haafidz Al ‘Allaamah Abi Hafs Umar Bin Ali Bin Ahmad Al Anshari Asy Syafi’i, Daar Al’aashimah, Tahun 1417 H
17. Tashiilul Ilmam Bi Fiqhil Ahaadiits Min Buluughil Maraam, Lil Haafidz Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al’asqalaani, Tahun 1427 H
18. Subulussalaam Al Muushil Ilaa Buluughil Maraam, Muhammad Bin Ismail Al Amiir Ash Shan’aani, Daar Ibnul Jauzi, Tahun 1423 H.
19. Fahtu Dzi Al-Jalaly Wa Al-Ikhram Bi Syarh Buluughil Maram, karya Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Madaru Al-Wathan, cetakan 1, Tahun 1425 H.
20. Nailul Authar Min Asrari Al-Muthaqo Al-Akhbar, karya Muhammad Bin ‘Ali Bin Muhammad As-Saukany ( Wafat Tahun 1250 H), karya Dar Kutub Al-Araby, cetakan 1, Tahun 1420 H / 2000 M.
21. Al-Mulakhas Al-Fiqh, karya Shalih Bin Fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan, Dar Ibnu Haitsam, cetakan 1, Tahun 1431 M / 2010 M.
22. As-Syarh Al-Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, karya Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Dar Ibnu Jauzi, cetakan 1, Tahun 1422 H.
23. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, karya Abdurrahman Bin Muhamaad Al-Jizziry, Dar Ihya At-Turots Al-‘Araby, cetakan Ke 2, Tahun 1418 H / 1998 M.
24. Tashil Al-Mam Bi Fiqhi Al-Ahadits Min Buluughul Maram, karya Syaikh Shalih Bin Fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan, cetakan Ke 1, Tahun 1427 H / 2006.
25. Nudzumu Al-Fawaid Mimma Fi Silsilatai Al-Albany Min Fawaid, karya Abdul Latif Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Abi Rabi’, Maktabah Ma’arif Riyadz, cetakan Ke 1, Tahun 1420 H / 1999 M.

About Unknown

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.