Hukum Islam

qardh (pinjaman hutang)


Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata: قرض (qaradha) yang sinonimnya: qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh). Pengertian-pengertian Qardh menurut para ulama’:

Hanafiah: harta yang diberikan kepada orang lain dari maal mitslii untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (maal mitslii) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
Sayid Sabiq: harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqridh) kepada penerima utang (muqtaridh) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.
Hanabilah: memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.
Syafi’iyah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).
Qardh secara etimologi adalah pinjaman. Secara terminologi muamalah adalah memiliki sesuatu (hasil pinjaman) yang dikembalikan (pinjaman tersebut) sebagai penggantinya dengan nilai yang sama. Secara teknis qardh adalah akad pemberian pinjaman dari seseorang/lembaga keuangan syariah kepada orang lain/nasabah yang dipergunakan untuk keperluan mendesak. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan besama) dan pembayarannya bisa dilakukan secara angsuran atau sekaligus.


B. Dasar Hukum

Surat Al Baqarah (2): 245

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Alloh pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipatgabdakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak dan Alloh menggenggam (menyempitkan) dan membentangkan (melapangkan) (rezeki) dan kepada Alloh dikembalikan kamu sekalian.


Surat Al Baqarah (2): 282

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang` untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu membacakan, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu membacakan sendiri, maka hendaklah walinya membacakannya dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, kecuali jika hal itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu(QS. Al Baqarah: 282).


Hadits Riwayat Muslim:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ اسْتَقْرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنًّا فَأَعْطَى سِنًّا فَوْقَهُ وَقَالَ خِيَارُكُمْ مَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً *

Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasululah saw meminjam unta dan mengembalikan dengan unta yang lebih baik. Dan beliau bersabda:” Pilihannya kalian adalah orang yang memperbaiki pada (pengembalian) pinjaman.” (HR Muslim, Kitab al-Musaqah)


Hadits Riwayat Nasa’i:


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ قَالَ اسْتَقْرَضَ مِنِّي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ أَلْفًا فَجَاءَهُ مَالٌ فَدَفَعَهُ إِلَيَّ وَقَالَ بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ إِنَّمَا جَزَاءُ السَّلَفِ الْحَمْدُ وَالأَدَاءُ * (تحقيق الألباني :

صحيح)

Dari Abdillah bin Abi Rabi’ah, ia berkata: Nabi saw telah meminjam dariku 40.000 dirham, kemudian Nabi mendapatkan harta , maka beliau menyerahkan harta itu padaku (mengembalikan pinjaman). Beliau bersabda:” Semoga Alloh memberi barokah untukmu, di dalam keluargamu dan hartamu. Sesungguhnya balasannya pinjaman adalah pujian dan pengembalian .” (HR Nasai, Kitab al-Buyu’)


C. Rukun dan Syarat Qardh

Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur fuqaha, rukun qardh adalah 1) ‘aaqid, yaitu muqridh dan muqtaridh; 2) ma’qud ‘alaih, yaitu uang dan barang; dan 3) shigaht, yaitu ijab dan qabul.

1. ‘Aaqid

Baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul adaa’. Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain: a) ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’; b) mukhtar (memiliki pilihan). Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih.

2. Ma’qud ‘Alaih

Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, yang menjadi obyek akad dalam al qardh sama dengan obyek akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung. Setiap barang yang boleh dijadikan obyek jual beli, boleh pula dijadikan obyek akad qardh.

Hanafiah mengemukakan bahwa ma’qud ‘alaih hukumnya sah dalam maal mitslii, seperti barang yang ditaksir, barang yang ditimbang, barang yang dihitung dan dihitung dengan meteran. Barang-barang yang tidak ada atau sulit mencari persamaannya di pasaran tidak boleh dijadikan obyek qardh, seperti hewan, karena sulit mengembalikan dengan barang yang sama.

3. Shighat

Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta, oleh karena itu akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti akad jual beli dan hibah. Shighat ihab dengan lafal qardh dan salaf, atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya milikkan kepadamu barang ini, dengan ketentuan Anda harus mengembalikan pada saya penggantinya”.


D. Ketentuan Hukum Qardh

Menurut Malikiyah, qardh hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ‘ariyah, berlaku dan mengikat dengan telah terjadinya akad walaupun muqtaridh belum menrima barangnya. Muqtaridh boleh mengembalikan persamaan dari barang yang dipinjamnya, dan boleh pula mengembalikan jenis barangnya, baik barang tersebut mitslii atau ghair mitslii, apabila barang tersebut belum berubah dengan tambah atau kurang. Apabila barang telah berubah, maka muqtaridh wajib mengembalikan barang yang sama.

Menurut pendapat yang sahih dari Syafi’iyah dan Hanabilah, kepemilikan dalam qardh berlaku apabila barang telah diterima. Muqtaridh mengembalikan barang yang sama kalau barangnya maal mitslii. Menurut Syafi’iyah, apabila barangnya maal qiimii maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang dipinjamnya. Menurut Hanabilah, dalam barang-barang yang ditaksir (makilat) dan ditimbang (mauzunat), sesuai dengan kesepakatan fuqahaa, dikembalikan dengan barang yang sama. Sedangkan dalam barang yang bukan makilat dan mauzunat, ada dua pendapat. Pertama, dikembalikan dengan harganya yang berlaku pada saat utang. Kedua, dikembalikan dengan barang yang sama yang sifat-sifatnya mendekati dengan barang yang diutang atau dipinjam.

Para ulama sepakat bahwa setiap utang yang mengambil manfaat hukumnya haram, apabila hal itu disyaratkan atau ditetapkan dalam perjanjian. Hal ini sesuai dengan kaidah:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

Semua utang yang mengambil manfaat, maka ia termasuk riba.

Apabila manfaat (kelebihan) tidak disyaratkan pada waktu akad maka hukumnya boleh.

Pengembalian utang dianjurkan untuk dilakukan secepatnya, apabila orang yang berutang telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan. Apabila kondisi orang yang sedang berutang sedang berada dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka kepada orang yang memberikan utang dianjurkan untuk memberikan kelonggaran dengan menunggu sampai ia mampu untuk membayar utangnya. Hal ini sesuai dengan firman Alloh dalam surah Al Baqarah (2): 280

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berutang) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.


E. Ketentuan Umum Qardh[1]

Pertama : Ketentuan Umum al-Qardh

1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.

2. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.

3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.

4. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.

5. Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.

6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:

a. memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau

b. menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.



Kedua: Sanksi

1. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengem-balikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.

2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa --dan tidak terbatas pada-- penjualan barang jaminan.

3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.

Ketiga: Sumber Dana

Dana al-Qardh dapat bersumber dari:

Bagian modal LKS;
Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.

Keempat :

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

About Unknown

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.